Monday, November 5, 2018

Retorika Kehidupan Santri


Belaian lembut angin pagi hari yang diiringi dengan nyanyian jangkrik dan senyuman hangat dari sang mentari, membuat sempurna suasana pesantren untuk bersantai dan mengendurkan syaraf-syaraf otak yang kencang dengan memuroja’ah bait-bait nadzom Alfiyah yang telah kukhatamkan beberapa tahun yang lalu.
Namaku Ali, seorang santri asal Jawa Timur yang telah mondok di Sarang selama 11 tahun.
“Li, ini gimana jalan keluarnya?.” Suara seorang santri dengan nada agak panik yang sejak tadi mondar-mandir tak jauh di depanku. Merusak kerajaan ekspetasiku yang sejak tadi kubangun dengan hati-hati.
“Tinggal keluar dari pintu, apa susahnya?.” Jawabku ngelantur tak serius menanggapi pembicaraan.
Ya Allah… aku kan nanyanya beneran, kok malah dijawab maen-maen.” jawabnya dengan ekspresi agak marah.
“Oke-oke.” Aku mulai membenarkan posisi dudukku yang semula tidur-tidur santai.
“Tapi, bukannya ini yang kamu mau? Sampai-sampai ente ngelakuin segala cara untuk bisa keluar dari pondok?.”
“Itukan dulu, sekarang beda ceritanya.” sejenak dia berhenti lalu kemudian modar-mandir kembali.
Temanku yang dari tadi mondar-mandir kebingungan ini namanya Udin. Seorang santri asal kota metropolitan yang sudah lama menjadi sahabatku di pondok sarang. Aku masih ingat jelas saat pertama kami kenal. Kejadian itu sudah sangat lama sekitar 10 tahun yang lalu. Saat kami dita’zir bersama didepan kantor keamanan karena melanggar peraturan pondok.
“Ssstt… sstt… Santri baru, namamu siapa?.” Tanyaku sambil mengulurkan tangan kearah Udin yang jaraknya hanya sekitar 1 meter dari tempatku berada.
“Namaku M. Udin A’wani dari Jakarta.”jawabnya dengan menjabat tanganku.
“Aku Ali, selamat datang dipenjara suci yang megah nan mewah.”
Di situ kami saling bertukar cerita sangat banyak. Mulai dari cerita asmara, cita-cita, keluarga, bola, alasan mondok dan... entahlah, telalu banyak yang kami bicarakan sampai lupa bahwa kami sedang dita’zir
Banyak cerita menarik yang ia sampaikan, terutama mengenai cita-citanya dan alasan dia mondok. Aku sempat tertawa cukup keras, sampai-sampai semua menatapku dengan tatapan sinis, setelah ia menceritakan cita-citanya sebagai seorang presiden. ”Apa kamu yakin ingin menjadi seorang presiden?” tanyaku pada Udin ingin memastikan hal yang baru saja ku dengar. Udin mengangguk dengan mantap, memberikan isyarat bahwasannya ia yakin dengan ucapannya.
Sejak kejadian itu kami menjadi sahabat dekat dan selalu melakukan aktivitas bersama, mulai dari makan hingga ta’ziran. Aku hampir lupa!. Tujuan Udin mondok sebenarnya untuk mendapat HP khusus gamers terbaru yang dijanjikan ayahnya kalau dia mondok.
Semua hal gila telah kami lakukan agar bisa keluar dari tempat yang telah lama mengekang kami sejak lama ini. Mulai dari keluar malam, melompati pagar, sampai menyebrangi perbatasan. Tapi semua itu tak segila hal yang akan kami lakukan tengah malam nanti. Sebuah rencana yang tak pernah terlintas dibenak kami. Rencana yang mampu mengakhiri kehidupan kami disini untuk selamanya. Entah dari mana ide ini bermuara tapi yang jelas rencana ini akan memberikan sebuah perubahan besar, karena kami akan mencuri pakaian dalam santri putri.
Tengah malam pun tiba. sejak tadi kami telah mempersiapkan peralatan yang kami butuhkan. Malam sangat sunyi tak ada santri yang masih terjaga, hanya ada cahaya terang yang berasal dari lampu teras yang masih menyala. Suara jangkrik dan kokokan ayam terdengar saling saut-menyaut menemani perjalanan malam kami. Sejauh ini sangat aman. Sampai kami tiba di jalan keluar yang biasa kami lalui. Tiga orang berjaga di dekat situ dengan menyeduh secangkir kopi yang masih hangat.
“Gimana nih Li, ada keamanan yang berjaga?.”
Entahlah, aku juga masih memikirkannya.” sautku dengan suara yang tak mungkin di dengar oleh orang yang berada 10 meter jauhnya dariku. Udin meraih sebuah batu yang berada tak jauh darinya. lantas melemparnya ke sisi jauh. Tang bunyi keributan yang dihasilkan dari lemparan Udin. Seketika para keamanan mendekati sumber suara. Waktu setipis apapun tak kami lewatkan. Kami langsung berlari melompati pagar yang tingginya kira-kira 2 meter dengan kawat berduri yang terbuka diatasnya.
 Mendarat mulus di atas tanah yang agak lembab karena embun waktu dini hari. Misi pun berlanjut. sampai kami terciduk oleh seorang keamanan.
Ali, ngapain kamu disini.” suara lantang seorang keamanan yang sangat kukenal.
“Eh, Atok.. tambah ganteng deh!.” basa-basiku kepada teman lamaku yang kini menjadi keamanan.
Kamu mau apa kemari?.” Ulangnya. ”Ali, Ali.. kapan kamu mau berubah, ga ada kapoknya. Padahal sudah sering kena ta’zir masih aja tetap ga gubris.” Athok menggelengkan kepala. “Yo wis karep mulah koe arep lapo. Aku ga bakal nyekel koe, tapi aku yo mung donga’no koe ben iso tobat  Athok pergi menjauhi kami. Entah mengapa setelah mendengar ucapannya aku menjadi ragu untuk melanjutkan misi ini.
Tapi apalah daya wis kadung nyemplung ate mentas eman. Kami pun melanjutkan perjalanan. sampai tibalah di sisi lain tembok setinggi 3 meter dengan toping pecahan kaca diatasnya. Tanpa berlama-lama Udin pun mengambil palu dan seprai 2x1 meter dengan ketebalan 5 cm yang telah kami siapkan. “Ayo naik!” Udin menaiki punggungku dengan perlahan meletakan seprai ke atas pecahan-pecahan kaca. Ia pun memukuli seprai dengan palu sebelum ia menaikinya.
Aku melompat mencoba menggapai tangan Udin yang sejak tadi diulurkan ke arahku. Aku harus berhati-hati menaiki tembok ini agar pecahan kaca tidak merobek seprei yang kami bawa. Lebih buruk lagi menyayat tubuh kami. Setengah berhasil aku memanjatnya sebelum tiba-tiba aku reflek melompat ke belakang karena terkejut dengan pemandangan yang kulihat.
Ternyata isu-isu yang menyebar dikalangan para santri itu benar. Bahwa di pondok putri terdapat sesosok yang menyerupai wanita. Biasanya makhluk tersebut mengganggu orang yang ingin menerobos pondok putri. Udin yang mencoba meraih tangan kuikut terjatuh. Bugh” bunyi berdentung pelan kami terjatuh kedalam semak-semak Udin menggeram kesakitan sambil memegangi punggungnya. lebih dari itu aku gemetar ketakutan karena melihat sosok tinggi putih yang nampak didekat jemuran.
Ada apa Li?” Udin berusaha berdiri sambil memegangi punggungnya yang kesakitan. “Kenapa kamu bisa jatuh dari sana” Udin menekuk dahi sambil mnggigit bibirnya berusaha melontarkan sebuah pertanyaan “Di… di... “ aku gagap menjawab pertanyaan Udin.” Ada apa?” sela Udin tergesa-gesa “Ada kunthilanak”. suasana berubah 180O. mental baja kami terlebur oleh kobaran api rasa takut. Kesiur angin mulai terasa. lolongan anjing liar terdengar memekakan telinga. Udin yang semula memegangi punggungnya perlahan mendekatiku.
Suasana mencekam semakin terasa saat terdengar rintihan burung gagak. Bulu kudukku semakin berdiri tegak entah bagaimana dengan Udin. Lama kami terpaku di sana sebelum Udin mulai memberanikan diri untuk melihat sosok itu.”Bantu aku naik” lirih suara yang keluar dari mulutnya. Perlahan Udin menaiki pundakku. Terasa gemetar kaki Udin setelah menyentuh kedua pundakku. Dan saat dia perlahan mulai mengintip kearah yang aku tunjuk, seketika itu ia menghela nafas lalu turun dari pundakku. Lantas ia langsung pergi menjauhiku ”lho..kok malah pergi mba’ kuntinya masih ada” tanyaku penasaran sambil berlari-lari kecil mendekati Udin ”mba kunta mba kunti,la wong  di sana hanya ada jemuran mukena saja”
Misi ini 100 persen gagal. Kami pun lantas bergegas kembali ke pondok dengan tangan hampa. Kalau bukan karena mukenah pasti… sudahlah yang lalu biarlah berlalu , ini bisa menjadi pelajaran bagi kami untuk hanya takut kepada Allah. Tapi, tanpa kusadari aktivitas yang kami lakukan sejak tadi terekam CCTV yang terletak di tembok pembatas tempat kami ribut tadi.
__oO(0)Oo__
Yang terpenting itu kamu nurut sama ucapannya pak kiai.” aku mencoba meyakinkan Udin. “Tapikan aku masih betah di pondok ini Ali. Udin memperbaiki rambutnya yang berantakan.
Gini ya aku kasih tahu…”menarik tangan Udin untuk duduk, ”Santri itu ga boleh jadi kyai semua.” Udin menatapku heran “Maksudnya, harus ada yang menjadi dokter, pejabat, pedagang, bahkan presiden. Soalnya kenapa? Kalau saja santri yang memegang peranan-peranan penting dalam penerintahan di suatu negara atau mungkin tersebar ke mana-mana. Pasti kebaikan akan berada di negara atau di tempat mereka berada. Hal ini dikarenakan….”Sejenak menengok asatidz yang lewat dan menyeringainya. Santri itu sattrul aurot, naibul ulama’, tarkul ma’asy, dan raisul ummah. Jadi harus ada yang namanya penyebaran profesi. Udin hanya mantuk-mantukBiar kamu tambah yakin aku yang nganterin deh sowan Pak Kyai. Nanti masalah urusan pondok sama yang lain, biar aku yang urus. Akukan calon gus disini ” celotehku untuk menghibur hati Udin.
Udin mengaguk mantap dan memberi isyarat untuk menghantarkannya sowan ke Pak Kyai. Aku pun mengiyakan perintaan dari sahabatku tersebut. Setibanya di depan ndalem, aku teringat masa laluku saat pertama kali sowan bersama Udin.
Rumah besar nan indah yang sangat memukau mata yang melihatnya. Ukiran-ukiran pintu dan ventilasi-ventilasi kamar yang bernuansa khas jawa berpadu dengan kaligrafi timur tengah, serasi dengan warna hijau muda bercampur tua. Lantai pualam yang terbuat dari marmer membuat rumah ini terlihat semakin megah. Awalnya aku berfikir bahwa arsitektur handallah yang membuat tempat ini menjadi sangat indah. Tapi, ternyata para santrilah yang medesain dan membangun rumah ini.
Kami berdua duduk di teras rumah, menunggu berita yang dibawakan pengurus. Setelah satu jam yang lalu kami mendapatkan panggilan untuk datang ke depan ndalem, yang pastinya dengan tujuan ta’ziran atau lebih tepatnya pemboyongan. Perasaan tegang dan takut mulai menyelimutiku, lebih parah dari yang kurasakan tadi malam. Aku bingung kenapa rasa takut akan kepindahanku dari pondok ini tiba-tiba datang menghampiri. Padahal ini adalah alasanku untuk melanggar tiap peraturan pondok. Aku menengok ke arah Udin yang berada disebelahku. Dia hanya tersenyum tipis seolah-olah mengisyaratkan tujuan kita berhasil Ali!, sebentar lagi kita terbebas dari penjara suci ini.
Sejenak mungkin ekspresi bisa membohongi orang lain, tapi hati tak bisa berbohong. Aku melihat tangan dan kaki yang gemetar sama sepertiku, bahkan mungkin lebih parah lagi. Bibirnya terlihat pucat dan rahangnya ikut gemetar bersamaan dengan anggota tubuhnya, keringat dingin mengalir dari dahi terjun kebawah dagu. Dari balik pintu yang berukirkan kaligrafi aku mendengar, agak lamat-lamat memang. Tapi cukup jelas untuk didengar dan difahami.
”...Mereka ini adalah penyakit-penyakit pondok yang merusak ketentraman. Kalau saja kita membiarkan satu dua ulat tinggal di pohon, maka keesokan harinya pohon itu pasti akan mati.” Papar seorang pengurus dari balik pintu besar bercat plitur dengan suara lantang. ”Memangnya apa yang telah mereka lakukan, sampai- sampai kalian marah dan pasrah” suara serak-serak basah dan agak berat terdengar menyauti pembicaraan. “Mereka berdua tak pernah ikut jama’ah, jarang ngaji, selalu keluar malam, dan yang lebih parah lagi kemaren mereka mencoba masuk ke pondok putri. Jadi sudah sepantasnya mereka diboyongkan dari sini.” Sahut pengurus yang lain. “Kalau kita mengeluarkan mereka, tandanya kita gagal dalam menuntun seseorang kejalan sirothol mustaqim.” Suara berat yang membela kami menghela nafas panjang. ”Tapi bagaimana cara kami mendidik mereka, Pak Kyai?” tanya seorang pengurus dengan perasaan bimbang. Pak Kyai menggelengkan kepala. “Apa kalian lupa dengan ijazah dari KH. Hasyim Asy’ari dalam salah satu kitab karangannya, di sana dijelaskan bahwasannya barang siapa santri yang mampu menjaga takbir pertamanya imam (tak pernah telat jama’ah) secara istiqomah dalam 40 hari, maka dia akan terfutuh hatinya. Jadi kalian tenang saja, terlebih untuk masalah caranya biar saya yang urus.” Jawab orang yang bersuara berat, yang tentunya ia adalah Pak Kyai.
Ruang tersebut sejenak lengang. Dan kemudian terdengar sura pintu terbuka yang berdecit pelan. Kami reflek berdiri setelah melihat seorang laki-laki paruh baya membuka pintu bercorakkan kaligrafi. Ia melihat kami berdua, lantas tersenyum hangat. Entah kenapa dengan melihat raut muka yang ceria dan wajahnya yang bercahaya itu kami bisa tahu bahwa tiap nafas dan gerak-geriknya tak lepas dari menyebut nama Allah.
“Kamu Ali...” lelaki-paruh baya itu menunjuk ke arahku. ”... dan kamu pasti Udin” berpindah menunjuk Udin lantas duduk di kursi depan kami. “Tenang saja, kalian tidak akan dikeluarkan dari sini...” mendengar berita itu kami berdua meghela nafas lega. ”... Tapi kalian tetap akan saya hukum.” Berhenti sejenak ”Ali karena suaramu bagus, jadi kamu saya hukum menjadi muazin pondok. Dan untuk kamu, Udin. Hukumanmu merapikan sejadah imam setiap sholat maktubah. Kalau kalian tidak melakukan tugas kalian dengan benar hukuman kalian akan bertambah berat.” Tutur pria itu dengan rasa penghormatan.
Awalnya kami canggung dalam melakukan ta’ziran ini, terutama aku yang sebelumnya tak perah azan, kini tiba-tiba menjadi muazin pondok. Sejak saat itulah kehidupan kami berubah sangat drastis terutama setelah kejadian 17 Romadhon.
Hari yang begitu terik di bulan Romadhon, meskipun jam baru menunjukan pukul 06.30. tapi kerongkonganku terasa begitu kering, panas terasa menusuk sampai ke dalam tulang bahkan meskipun aku memakai baju panjang dan sunblock sekalipun. Suhu di sawah terasa 10 kali lebih panas daripada di pondok. Suhu dini hari tadi, aku mendapat tugas dari Pak Kyai bersama dengan 20 santri yang lain untuk mencangkul dan membajak sawah mulai jam 5 sampai tengah hari.
Berat sekali memang bagi kami untuk membajak sawah di hari yang seterik dan sepanas ini. Terutama di pertengahan bulan puasa. Satu jam pertama memang tak terasa begitu berat, tapi cobaan sebenarnya muncul setelah lewat jam 8 pagi. Rasa penat dan lelah mulai menghampiri kami, satu persatu santri mulai beristirahat karena tak kuat menahan rasa haus dan serangan sinar UV dari matahari.
Jam baru menunjukan pukul 10 tapi semua santri telah pergi dari posisi masing-masing. Hanya menyisakan diriku yang ditemani dengan ekosistem persawahan. Sebenarnya kami tidak diharuskan mencangkul sampai tengah hari, tetapi karena aku bernisiatif untuk menuruti perintah Pak Kyai, akhirnya aku mencoba untuk tetap bertahan dibawah tekanan bulan Romadhon dan teriknya matahari peluh keringat mengalir deras dari tubuhku kerongkongan terasa kering tak dialiri air, bibirku kering dan kulitku terasa terpanggang oleh panasnya mentari. Sejenak aku tak kuat melakukan tugas ini lantas cepat-cepat kubuang rasa lelahku jauh-jauh agar tugas ini tak terasa begitu berat.
Lain aku lain juga dengan Udin. Saat ini dia sedang ditugaskan untuk bersih-bersiih ndalem dan menguras kamar mandi. Mungkin terlihat lebih mudah dari tugasku, tapi permasalahan yang sesungguhnya muncul ketika tertengar teriakan minta tolong dari kamar mandi utama. Udin berlari menuju sumber suara lantas terhenti sejenak karena melihat siapa yang meminta tolong.
“Ada apa Bu Nyai?” tanya Udin kepada Bu Nyai. “Ini cincin saya nyemplung ke dalam kloset dan tak sengaja tersiram masuk.” Tanpa berkata apa-apa Udin berlari menuju belakang rumah. Membuka tutup septiktank dan langsung terjun menyelami septiktank. Tunggu dulu, septiktank!
Terdengar gila mungkin. Tapi hal itu memang benar terjadi. Dia mencoba menyelami kolam yang penuh dengan kotoran manusia. Jijik dan geli mungkin sedang Udin rasakan tapi itu semua tidak ia hiraukan yang ada di dalam benaknya hanyalah mengambil cincin Bu Nyai. Tak lama berselang Udin pun naik dengan membawakan sebuah cincin emas yang tertutupi oleh emas lain.
Disawah pergulatan jiwaku semakin ketat, sebelum Pak Kyai datang ke tempat pembajakan. Ia bingung kenapa hanya menyisakan 1 orang santri yang masih bertahan di sana. “Ikut saya, Kang!” aku mengikuti langkah Pak Kyai dengan perlahan sambil memopong cangkul di pundakku.
Ternyata aku diajak Pak Kyai kedapur ndalam di sana telah ada Udin yang telah bersih dan wangi tengah menanti. Kami pun saling tatap-menatap heran dengan apa yang akan dilakukan oleh Pak Kyai. Tak lama berselang Pak Kyai datang dengan membawakan segelas air yang agak keruh. Lantas kami diperintahkan untuk meminumnya, dengan membaca bismillah.
Setelah kejadian itu, kami mengalami perubahan drastis semula aku yang tak bisa apa-apa sekarang sering diperintahkan untuk menggantikan Pak Kyai mauidhoh di tempat pengajian, dan untuk Udin mungkin berkah Pak Kyai membuatnya mampu meraih cita-citanya menjadi seorang presiden.
__oO(0)Oo__
“Pak Kyai, Udin mau ikut partai dan nyalon jadi presiden” tuturku sambil mencium tangan Pak Kyai. Kami pun berbincang-bincang cukup lama membahas masalah agama dan pemerintahan.
Awalnya Udin kurang mendapatkan pengakuan dari beberapa pihak partai dan masyarakat. Tapi setelah diadakannya orasi di sejumlah tempat mulai banyak masyarakat dan petinggi partai yang menyukainya, karena orasi yang dia sampaikan itu bernuansa islami.
Pilpres pun tiba, penghitungan cepat menunjukan persentase orang yang memilih Udin lebih sedikit dari calon nomor urut 1. Meskipun Udin tak bisa menjadi presiden ditahun 2019, tapi namanya telah melekat di hati para masyarakat kalangan santri dan kyai. Mungkin saat ini belum beruntung, tapi kuyakin ditahun 2024 mendatang, para santrilah yang akan menguasai dunia pemerintahan.

No comments:

Post a Comment