Belaian
lembut angin pagi hari yang diiringi dengan nyanyian jangkrik dan senyuman
hangat dari sang mentari, membuat sempurna suasana pesantren untuk bersantai
dan mengendurkan syaraf-syaraf otak yang kencang dengan memuroja’ah bait-bait
nadzom Alfiyah yang telah kukhatamkan beberapa tahun yang lalu.
Namaku Ali, seorang
santri asal Jawa
Timur yang
telah mondok di Sarang selama 11 tahun.
“Li, ini gimana jalan
keluarnya?.” Suara seorang santri dengan nada agak panik yang sejak tadi mondar-mandir
tak jauh di depanku. Merusak kerajaan ekspetasiku yang sejak tadi kubangun
dengan hati-hati.
“Tinggal keluar dari pintu,
apa susahnya?.” Jawabku ngelantur tak serius menanggapi pembicaraan.
“Ya Allah… aku kan nanyanya beneran, kok malah dijawab maen-maen.” jawabnya dengan
ekspresi agak marah.
“Oke-oke.” Aku mulai
membenarkan posisi dudukku yang semula tidur-tidur santai.
“Tapi, bukannya ini yang
kamu mau? Sampai-sampai ente ngelakuin segala cara untuk bisa
keluar dari pondok?.”
“Itukan dulu, sekarang
beda ceritanya.” sejenak dia berhenti lalu kemudian modar-mandir kembali.
Temanku yang dari tadi mondar-mandir
kebingungan ini namanya Udin. Seorang santri asal kota metropolitan yang
sudah lama menjadi sahabatku di pondok sarang. Aku masih ingat jelas saat
pertama kami kenal. Kejadian itu sudah sangat lama sekitar 10 tahun yang lalu.
Saat kami dita’zir bersama didepan kantor keamanan karena melanggar peraturan
pondok.
“Ssstt… sstt… Santri
baru, namamu siapa?.” Tanyaku sambil mengulurkan tangan kearah Udin yang
jaraknya hanya sekitar 1 meter dari tempatku berada.
“Namaku M. Udin A’wani
dari Jakarta.”jawabnya dengan menjabat tanganku.
“Aku Ali, selamat datang
dipenjara suci yang megah nan mewah.”
Di situ
kami saling bertukar cerita sangat banyak. Mulai dari cerita asmara, cita-cita,
keluarga, bola, alasan mondok dan... entahlah, telalu banyak yang kami
bicarakan sampai lupa bahwa kami sedang dita’zir
Banyak
cerita menarik yang ia sampaikan, terutama mengenai cita-citanya dan alasan dia
mondok. Aku sempat tertawa cukup keras, sampai-sampai semua menatapku dengan
tatapan sinis, setelah ia menceritakan cita-citanya sebagai seorang presiden. ”Apa
kamu yakin ingin menjadi seorang presiden?” tanyaku pada Udin ingin memastikan
hal yang baru saja ku dengar. Udin mengangguk dengan mantap, memberikan isyarat
bahwasannya ia yakin dengan ucapannya.
Sejak
kejadian itu kami menjadi sahabat dekat dan selalu melakukan aktivitas bersama,
mulai dari makan hingga ta’ziran. Aku hampir lupa!. Tujuan Udin mondok sebenarnya untuk mendapat HP khusus gamers terbaru
yang dijanjikan ayahnya kalau dia mondok.
Semua hal gila telah kami
lakukan agar bisa keluar dari tempat yang telah lama mengekang kami sejak lama
ini. Mulai dari keluar malam, melompati pagar, sampai menyebrangi perbatasan.
Tapi semua itu tak segila hal yang akan kami lakukan tengah malam nanti. Sebuah
rencana yang tak pernah terlintas dibenak kami. Rencana yang mampu mengakhiri
kehidupan kami disini untuk selamanya. Entah dari mana ide ini bermuara tapi
yang jelas rencana ini akan memberikan sebuah perubahan besar, karena kami
akan mencuri pakaian dalam santri putri.
Tengah malam pun tiba.
sejak tadi kami telah mempersiapkan peralatan yang kami butuhkan. Malam sangat
sunyi tak ada santri yang masih terjaga, hanya ada cahaya terang yang berasal
dari lampu teras yang masih menyala. Suara jangkrik dan kokokan ayam terdengar
saling saut-menyaut menemani perjalanan malam kami. Sejauh ini sangat aman.
Sampai kami tiba di jalan keluar yang biasa kami lalui. Tiga orang berjaga di
dekat situ dengan menyeduh secangkir kopi yang masih hangat.
“Gimana nih Li, ada
keamanan yang berjaga?.”
“Entahlah, aku juga masih
memikirkannya.” sautku dengan suara yang tak mungkin di dengar oleh orang yang
berada 10 meter jauhnya dariku. Udin meraih sebuah batu yang berada tak jauh
darinya. lantas melemparnya ke sisi jauh. Tang bunyi keributan yang
dihasilkan dari lemparan Udin. Seketika para keamanan mendekati sumber suara.
Waktu setipis apapun tak kami lewatkan. Kami langsung berlari melompati pagar
yang tingginya kira-kira 2 meter dengan kawat berduri yang terbuka diatasnya.
Mendarat mulus di atas tanah yang agak lembab
karena embun waktu dini hari. Misi pun berlanjut. sampai kami terciduk oleh seorang
keamanan.
“Ali, ngapain kamu disini.”
suara lantang seorang keamanan yang sangat kukenal.
“Eh, Atok.. tambah
ganteng deh!.” basa-basiku kepada teman lamaku yang kini menjadi keamanan.
“Kamu mau apa kemari?.”
Ulangnya. ”Ali,
Ali.. kapan kamu mau berubah, ga ada kapoknya. Padahal sudah sering kena ta’zir
masih aja tetap ga gubris.” Athok menggelengkan kepala. “Yo wis karep mulah koe arep
lapo. Aku ga bakal nyekel koe, tapi aku yo mung donga’no koe ben iso tobat” Athok pergi menjauhi kami.
Entah mengapa setelah mendengar ucapannya aku menjadi ragu untuk melanjutkan
misi ini.
Tapi apalah daya wis
kadung nyemplung ate mentas eman. Kami pun melanjutkan
perjalanan. sampai tibalah di sisi lain tembok setinggi 3 meter dengan toping
pecahan kaca diatasnya. Tanpa berlama-lama Udin pun mengambil palu dan
seprai 2x1 meter dengan ketebalan 5 cm yang telah kami siapkan. “Ayo naik!” Udin
menaiki punggungku dengan perlahan meletakan seprai ke atas pecahan-pecahan
kaca. Ia pun memukuli seprai dengan palu sebelum ia menaikinya.
Aku melompat mencoba
menggapai tangan Udin yang sejak tadi diulurkan ke arahku. Aku harus
berhati-hati menaiki tembok ini agar pecahan kaca tidak merobek seprei yang
kami bawa. Lebih buruk lagi menyayat tubuh kami. Setengah berhasil aku
memanjatnya sebelum tiba-tiba aku reflek melompat ke belakang karena terkejut
dengan pemandangan yang kulihat.
Ternyata isu-isu yang
menyebar dikalangan para santri itu benar. Bahwa di pondok putri terdapat
sesosok yang menyerupai wanita. Biasanya makhluk tersebut mengganggu orang yang
ingin menerobos pondok putri. Udin yang mencoba meraih tangan kuikut terjatuh.
“Bugh” bunyi berdentung
pelan kami terjatuh kedalam semak-semak Udin menggeram kesakitan sambil
memegangi punggungnya. lebih dari itu aku gemetar ketakutan karena melihat
sosok tinggi putih yang nampak didekat jemuran.
“Ada apa Li?” Udin berusaha
berdiri sambil memegangi punggungnya yang kesakitan. “Kenapa kamu bisa jatuh
dari sana” Udin menekuk dahi sambil mnggigit bibirnya berusaha melontarkan
sebuah pertanyaan “Di… di... “ aku gagap menjawab pertanyaan Udin.” Ada apa?” sela Udin
tergesa-gesa “Ada kunthilanak”. suasana berubah 180O. mental baja
kami terlebur oleh kobaran api rasa takut. Kesiur angin mulai terasa. lolongan
anjing liar terdengar memekakan telinga. Udin yang semula memegangi punggungnya perlahan
mendekatiku.
Suasana mencekam semakin
terasa saat terdengar rintihan burung gagak. Bulu kudukku semakin berdiri tegak entah bagaimana dengan Udin. Lama kami
terpaku di sana sebelum Udin mulai memberanikan diri untuk melihat sosok itu.”Bantu
aku naik” lirih suara yang keluar dari mulutnya. Perlahan
Udin menaiki pundakku. Terasa gemetar kaki Udin setelah menyentuh kedua
pundakku. Dan saat dia perlahan mulai mengintip kearah yang aku tunjuk,
seketika itu ia menghela nafas lalu turun dari pundakku. Lantas ia langsung
pergi menjauhiku ”lho..kok malah pergi mba’ kuntinya masih ada” tanyaku
penasaran sambil berlari-lari kecil mendekati Udin ”mba kunta mba kunti,la
wong di sana hanya ada jemuran
mukena saja”
Misi ini 100 persen
gagal. Kami pun lantas bergegas kembali ke pondok dengan tangan hampa. Kalau
bukan karena mukenah pasti… sudahlah yang lalu biarlah berlalu ,
ini bisa menjadi pelajaran bagi kami untuk hanya takut kepada Allah. Tapi,
tanpa kusadari aktivitas yang kami lakukan sejak tadi terekam CCTV yang
terletak di tembok pembatas tempat kami ribut tadi.
__oO(0)Oo__
“Yang terpenting itu kamu
nurut sama ucapannya pak kiai.” aku mencoba meyakinkan Udin. “Tapikan aku masih
betah di pondok ini Ali.” Udin memperbaiki rambutnya yang berantakan.
“Gini ya aku kasih
tahu…”menarik tangan Udin untuk duduk, ”Santri itu ga boleh jadi kyai semua.” Udin
menatapku heran “Maksudnya, harus ada yang menjadi dokter, pejabat, pedagang, bahkan
presiden. Soalnya kenapa? Kalau saja santri yang memegang peranan-peranan penting
dalam penerintahan di suatu negara atau mungkin tersebar ke mana-mana. Pasti
kebaikan akan berada di negara atau di tempat mereka berada. Hal ini dikarenakan….”Sejenak menengok asatidz
yang lewat dan menyeringainya. ”Santri itu sattrul aurot, naibul ulama’, tarkul ma’asy, dan raisul
ummah. Jadi harus ada yang namanya penyebaran profesi. ”Udin hanya mantuk-mantuk
“Biar kamu
tambah yakin aku yang nganterin deh sowan Pak Kyai. Nanti masalah urusan
pondok sama yang lain, biar aku yang urus. Akukan calon gus disini ” celotehku
untuk menghibur hati Udin.
Udin mengaguk mantap dan
memberi isyarat untuk menghantarkannya sowan ke Pak Kyai. Aku pun mengiyakan
perintaan dari sahabatku tersebut.
Setibanya di depan ndalem, aku teringat masa laluku saat pertama kali sowan
bersama Udin.
Rumah
besar nan indah yang sangat memukau mata yang melihatnya. Ukiran-ukiran pintu
dan ventilasi-ventilasi kamar yang bernuansa khas jawa berpadu dengan kaligrafi
timur tengah, serasi dengan warna hijau muda bercampur tua. Lantai pualam yang
terbuat dari marmer membuat rumah ini terlihat semakin megah. Awalnya aku
berfikir bahwa arsitektur handallah yang membuat tempat ini menjadi sangat
indah. Tapi, ternyata para santrilah yang medesain dan membangun rumah ini.
Kami
berdua duduk di teras rumah, menunggu berita yang dibawakan pengurus. Setelah
satu jam yang lalu kami mendapatkan panggilan untuk datang ke depan ndalem,
yang pastinya dengan tujuan ta’ziran atau lebih tepatnya pemboyongan.
Perasaan tegang dan takut mulai menyelimutiku, lebih parah dari yang kurasakan
tadi malam. Aku bingung kenapa rasa takut akan kepindahanku dari pondok ini
tiba-tiba datang menghampiri. Padahal ini adalah alasanku untuk melanggar tiap
peraturan pondok. Aku menengok ke arah Udin yang berada disebelahku. Dia hanya
tersenyum tipis seolah-olah mengisyaratkan tujuan kita berhasil Ali!,
sebentar lagi kita terbebas dari penjara suci ini.
Sejenak
mungkin ekspresi bisa membohongi orang lain, tapi hati tak bisa berbohong. Aku
melihat tangan dan kaki yang gemetar sama sepertiku, bahkan mungkin lebih parah
lagi. Bibirnya terlihat pucat dan rahangnya ikut gemetar bersamaan dengan
anggota tubuhnya, keringat dingin mengalir dari dahi terjun kebawah dagu. Dari
balik pintu yang berukirkan kaligrafi aku mendengar, agak lamat-lamat memang.
Tapi cukup jelas untuk didengar dan difahami.
”...Mereka
ini adalah penyakit-penyakit pondok yang merusak ketentraman. Kalau saja kita
membiarkan satu dua ulat tinggal di pohon, maka keesokan harinya pohon itu
pasti akan mati.” Papar seorang pengurus dari balik pintu besar bercat plitur
dengan suara lantang. ”Memangnya apa yang telah mereka lakukan, sampai- sampai
kalian marah dan pasrah” suara serak-serak basah dan agak berat terdengar menyauti
pembicaraan. “Mereka berdua tak pernah ikut jama’ah, jarang ngaji, selalu
keluar malam, dan yang lebih parah lagi kemaren mereka mencoba masuk ke pondok
putri. Jadi sudah sepantasnya mereka diboyongkan dari sini.” Sahut pengurus
yang lain. “Kalau kita mengeluarkan mereka, tandanya kita gagal dalam menuntun
seseorang kejalan sirothol mustaqim.” Suara berat yang membela kami
menghela nafas panjang. ”Tapi bagaimana cara kami mendidik mereka, Pak Kyai?”
tanya seorang pengurus dengan perasaan bimbang. Pak Kyai menggelengkan kepala.
“Apa kalian lupa dengan ijazah dari KH. Hasyim Asy’ari dalam salah satu kitab karangannya, di sana dijelaskan bahwasannya barang siapa santri yang mampu menjaga
takbir pertamanya imam (tak pernah telat jama’ah) secara istiqomah dalam 40 hari,
maka dia akan terfutuh hatinya. Jadi kalian tenang saja, terlebih untuk masalah
caranya biar saya yang urus.” Jawab orang yang bersuara berat, yang tentunya ia
adalah Pak Kyai.
Ruang
tersebut sejenak lengang. Dan kemudian terdengar sura pintu terbuka yang
berdecit pelan. Kami reflek berdiri setelah melihat seorang laki-laki paruh
baya membuka pintu bercorakkan kaligrafi. Ia melihat kami berdua, lantas
tersenyum hangat. Entah kenapa dengan melihat raut muka yang ceria dan wajahnya
yang bercahaya itu kami bisa tahu bahwa tiap nafas dan gerak-geriknya tak lepas
dari menyebut nama Allah.
“Kamu
Ali...” lelaki-paruh baya itu menunjuk ke arahku. ”... dan kamu pasti Udin”
berpindah menunjuk Udin lantas duduk di kursi depan kami. “Tenang saja, kalian
tidak akan dikeluarkan dari sini...” mendengar berita itu kami berdua meghela
nafas lega. ”... Tapi kalian tetap akan saya hukum.” Berhenti sejenak ”Ali
karena suaramu bagus, jadi kamu saya hukum menjadi muazin pondok. Dan untuk
kamu, Udin. Hukumanmu merapikan sejadah imam setiap sholat maktubah. Kalau kalian
tidak melakukan tugas kalian dengan benar hukuman kalian akan bertambah berat.”
Tutur pria itu dengan rasa penghormatan.
Awalnya
kami canggung dalam melakukan ta’ziran ini, terutama aku yang sebelumnya tak
perah azan, kini tiba-tiba menjadi muazin pondok. Sejak saat itulah kehidupan
kami berubah sangat drastis terutama setelah kejadian 17 Romadhon.
Hari
yang begitu terik di bulan Romadhon, meskipun jam baru menunjukan pukul 06.30.
tapi kerongkonganku terasa begitu kering, panas terasa menusuk sampai ke dalam
tulang bahkan meskipun aku memakai baju panjang dan sunblock sekalipun.
Suhu di sawah terasa 10 kali lebih panas daripada di pondok. Suhu dini hari
tadi, aku mendapat tugas dari Pak Kyai bersama dengan 20 santri yang lain untuk
mencangkul dan membajak sawah mulai jam 5 sampai tengah hari.
Berat
sekali memang bagi kami untuk membajak sawah di hari yang seterik dan sepanas
ini. Terutama di pertengahan bulan puasa. Satu jam pertama memang tak terasa
begitu berat, tapi cobaan sebenarnya muncul setelah lewat jam 8 pagi. Rasa
penat dan lelah mulai menghampiri kami, satu persatu santri mulai beristirahat
karena tak kuat menahan rasa haus dan serangan sinar UV dari matahari.
Jam
baru menunjukan pukul 10 tapi semua santri telah pergi dari posisi
masing-masing. Hanya menyisakan diriku yang ditemani dengan ekosistem
persawahan. Sebenarnya kami tidak diharuskan mencangkul sampai tengah hari,
tetapi karena aku bernisiatif untuk menuruti perintah Pak Kyai, akhirnya aku
mencoba untuk tetap bertahan dibawah tekanan bulan Romadhon dan teriknya
matahari peluh keringat mengalir deras dari tubuhku kerongkongan terasa kering
tak dialiri air, bibirku kering dan kulitku terasa terpanggang oleh panasnya
mentari. Sejenak aku tak kuat melakukan tugas ini lantas cepat-cepat kubuang
rasa lelahku jauh-jauh agar tugas ini tak terasa begitu berat.
Lain
aku lain juga dengan Udin. Saat ini dia sedang ditugaskan untuk bersih-bersiih
ndalem dan menguras kamar mandi. Mungkin terlihat lebih mudah dari tugasku,
tapi permasalahan yang sesungguhnya muncul ketika tertengar teriakan minta
tolong dari kamar mandi utama. Udin berlari menuju sumber suara lantas terhenti
sejenak karena melihat siapa yang meminta tolong.
“Ada
apa Bu Nyai?” tanya Udin kepada Bu Nyai. “Ini cincin saya nyemplung ke
dalam kloset dan tak sengaja tersiram masuk.” Tanpa berkata apa-apa Udin
berlari menuju belakang rumah. Membuka tutup septiktank dan langsung terjun
menyelami septiktank. Tunggu dulu, septiktank!
Terdengar
gila mungkin. Tapi hal itu memang benar terjadi. Dia mencoba menyelami kolam
yang penuh dengan kotoran manusia. Jijik dan geli mungkin sedang Udin rasakan
tapi itu semua tidak ia hiraukan yang ada di dalam benaknya hanyalah mengambil
cincin Bu Nyai. Tak lama berselang Udin pun naik dengan membawakan sebuah
cincin emas yang tertutupi oleh emas lain.
Disawah
pergulatan jiwaku semakin ketat, sebelum Pak Kyai datang ke tempat pembajakan.
Ia bingung kenapa hanya menyisakan 1 orang santri yang masih bertahan di sana.
“Ikut saya, Kang!” aku mengikuti langkah Pak Kyai dengan perlahan sambil
memopong cangkul di pundakku.
Ternyata
aku diajak Pak Kyai kedapur ndalam di sana telah ada Udin yang telah bersih dan
wangi tengah menanti. Kami pun saling tatap-menatap heran dengan apa yang akan
dilakukan oleh Pak Kyai. Tak lama berselang Pak Kyai datang dengan membawakan
segelas air yang agak keruh. Lantas kami diperintahkan untuk meminumnya, dengan
membaca bismillah.
Setelah
kejadian itu, kami mengalami perubahan drastis semula aku yang tak bisa apa-apa
sekarang sering diperintahkan untuk menggantikan Pak Kyai mauidhoh di tempat
pengajian, dan untuk Udin mungkin berkah Pak Kyai membuatnya mampu meraih
cita-citanya menjadi seorang presiden.
__oO(0)Oo__
“Pak
Kyai, Udin mau ikut partai dan nyalon jadi presiden” tuturku sambil mencium
tangan Pak Kyai. Kami pun berbincang-bincang cukup lama membahas masalah agama
dan pemerintahan.
Awalnya
Udin kurang mendapatkan pengakuan dari beberapa pihak partai dan masyarakat.
Tapi setelah diadakannya orasi di sejumlah tempat mulai banyak masyarakat dan
petinggi partai yang menyukainya, karena orasi yang dia sampaikan itu bernuansa
islami.
Pilpres
pun tiba, penghitungan cepat menunjukan persentase orang yang memilih Udin
lebih sedikit dari calon nomor urut 1. Meskipun Udin tak bisa menjadi presiden
ditahun 2019, tapi namanya telah melekat di hati para masyarakat kalangan
santri dan kyai. Mungkin saat ini belum beruntung, tapi kuyakin ditahun 2024
mendatang, para santrilah yang akan menguasai dunia pemerintahan.
No comments:
Post a Comment